Batu Malin Kundang, Pantai Air Manis
Sebenarnya ini perjalanan hari Minggu kemarin, cuma baru sempat menulis sekarang.
Dari pagi di kosan dimulai dengan persiapan, yaitu membuat bekal. Saya dan Mba Sukal belanja di warung. Namun saat memasak saya cuma bantu membersihkan dan memotong, lainnya semua dikerjakan oleh Mba Sukal. Dia memasak sayur kol dan lain-lain dan menggoreng ayam. Cara menggorengnya beda dengan saya lho.
Semua makanan kami masukkan ke dalam tempat makanan. Tempatnya pinjam sama Taci. Pukul setengah sepuluh saya, Mba Sukal dan Ani berangkat naik angkot hijau sampai pasar raya.
Dari pasar raya kami naik angkot warna biru jurusan Air Manis. Jalanan yang kami lalui menanjak karena pantainya berada di balik bukit. Jika sudah tampak perumahan penduduk di bawah, maka jalan akan mulai menurun dan sampailah ke lokasi Batu Malin Kundang. Bayar angkot Rp.4.000.
Semestinya bayar Rp 5.000 per orang untuk masuk ke lokasi tersebut, namun karena kami bersama Ani yang punya kenalan orang sana, jadi kami masuk gratis. Kami menemui teman Ani yang bernama Bang Adi. Setelah berkenalan, kami menitipkan bekal dan memulai jalan-jalan.
Yang pertama-tama kami datangi adalah Batu Malin Kundang. Tampak batu manusia yang sedang bersujud. Kami pun foto-foto dekat batu tersebut. Sebenarnya di sana ada fasilitas foto amatir, tapi kami lebih senang foto dengan kamera sendiri. Menurut Ani, beberapa bagian dari kapal Malin Kundang sudah dimodifikasi oleh mahasiswa Unand.
Berikutnya kami pergi menemui teman Ani yaitu Horge (saya tidak tahu tulisan sebenarnya) atau Black. Dia adalah orang Hongaria yang sempat ikut pertukaran mahasiswa di Unand dan sekarang menikah dengan orang Minang serta punya anak. Ia telah menetap di Pantai Air Manis selama beberapa tahun namun masih kewarganegaraan Hongaria.
Di sana kami ngobrol banyak. Atau lebih tepatnya, Ani ngobrol dengan Horge, kemudian Horge menjawabnya dengan ceramah panjang lebar tentang kondisi dunia. Saya dan Mba Sukal hanya jadi pendengar saja. Ada dua hal yang saya perhatikan saat Horge bicara. Pertama adalah bahasanya, alhamdulillah saya mengerti bahasa Inggrid yang dia gunakan, walau pun dia berbicara 3 bahasa, yaitu Inggring, Indonesia, dan Minang. Ada satu kosa kata yang tidak kunjung saya mengerti hingga akhir yaitu "pitih". Saya pikir ini kosa kata b. Inggris baru. Ternyata itu adalah bahasa minang yang berarti uang.
Yang kedua adalah isi pembicaraannya. Ia mencerikan kondisi dunia yang dikendalikan oleh bank bumi (world bank). Dimana untuk memperkaya sekelompok orang berbagai negara diadu-domba, para cendikiawan dibunuh, dan sebagainya. Kalau menceritakan apa yang dijelaskan Horge, dapat menjadi artikel tersendiri.
Setelah bebarapa kali mengatakan pada Horge bahwa kami harus pergi jalan-jalan lagi dan foto-foto, akhirnya dia berhenti juga bicara. Mungkin sejam lebih kami ngobrol. Kami pun jalan-jalan di pantai.
Ani mengajak kami ke Pulau Pisang Kecil. Walau pun namanya pulau pisang di sana tidak ada pisang. Di tengah jalan kami bertemu orang Korea. Ani mengajaknya ngobrol, namun orang tersebut hampir tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Ia menunjuk ke arah teman-temannya sekitar 5 atau 6 orang. Kami berkenalan dengan salah satu dari mereka yang bahasa Inggrisnya lumayan, walau pun lebih banyak bahasa isyaratnya juga. Namanya Kim. Katanya mereka bekerja di Perindo. Kami berjalan bersama-sama ke Pulau Pisang Kecil.
Kami bisa menyeberang ke Pulau Pisang Kecil dengan berjalan kaki karena air sedang surut. Hanya ada sedikit jalan yang terendam air setinggi tumit. Kami melepas sendal dan airnya serasa hangat. Kebetulan waktu itu sudah tengah hari.
Di Pulau Pisang Kecil kami foto-foto lagi. Kami juga bertemu beberapa keluarga Ani. Karena lapar, kami kembali ke tempat Bang Adi, meninggalkan orang-orang Korea tersebut.
Di tempat Bang Adi, kami mulai makan siang. Piring dan sendok pinjam di sana karena kami lupa bawa. Saat kami sedang makan, para orang Korea lewat. Kami memanggil mereka dan mengajak makan, namun mereka menolak. Terakhir kami melihat Kim dan memanggilnya, ia pun menghampiri kami. Kami menyuguhkan kue dari Azra yang berasal dari Sicincin, ia pun memakannya. Saat kami menyodorkan bakwan, ia mengatakan kalu tadi pagi ia juga makan bakwan. Mba Sukal menawarkan kerupuk. Semua yang kami tawarkan di bungkus plastik, maklum, bekal dari rumah.
Ani mengatakan bahwa di tempat Bang Adi ada penginapan. Kim bertanya dengan isyarat tangan membentuk kotak. Saya dan Ani bingung tidak mengerti. Rupanya Mba Sukal mengerti bahwa ia menanyakan AC. Memang anak biologi pandai bahasa isyarat, hehe. Kemudian Kim pamit ke tempat teman-temannya.
Setelah makan, kami shalat Zuhur di tempat shalat. Waktu itu sekitar pukul 3. Setelah shalat kami kembali ke tempat Bang Adi dan Horge untuk foto-foto. Setelah itu kami pulang.
Dari pagi di kosan dimulai dengan persiapan, yaitu membuat bekal. Saya dan Mba Sukal belanja di warung. Namun saat memasak saya cuma bantu membersihkan dan memotong, lainnya semua dikerjakan oleh Mba Sukal. Dia memasak sayur kol dan lain-lain dan menggoreng ayam. Cara menggorengnya beda dengan saya lho.
Semua makanan kami masukkan ke dalam tempat makanan. Tempatnya pinjam sama Taci. Pukul setengah sepuluh saya, Mba Sukal dan Ani berangkat naik angkot hijau sampai pasar raya.
Dari pasar raya kami naik angkot warna biru jurusan Air Manis. Jalanan yang kami lalui menanjak karena pantainya berada di balik bukit. Jika sudah tampak perumahan penduduk di bawah, maka jalan akan mulai menurun dan sampailah ke lokasi Batu Malin Kundang. Bayar angkot Rp.4.000.
Yang pertama-tama kami datangi adalah Batu Malin Kundang. Tampak batu manusia yang sedang bersujud. Kami pun foto-foto dekat batu tersebut. Sebenarnya di sana ada fasilitas foto amatir, tapi kami lebih senang foto dengan kamera sendiri. Menurut Ani, beberapa bagian dari kapal Malin Kundang sudah dimodifikasi oleh mahasiswa Unand.
Berikutnya kami pergi menemui teman Ani yaitu Horge (saya tidak tahu tulisan sebenarnya) atau Black. Dia adalah orang Hongaria yang sempat ikut pertukaran mahasiswa di Unand dan sekarang menikah dengan orang Minang serta punya anak. Ia telah menetap di Pantai Air Manis selama beberapa tahun namun masih kewarganegaraan Hongaria.
Di sana kami ngobrol banyak. Atau lebih tepatnya, Ani ngobrol dengan Horge, kemudian Horge menjawabnya dengan ceramah panjang lebar tentang kondisi dunia. Saya dan Mba Sukal hanya jadi pendengar saja. Ada dua hal yang saya perhatikan saat Horge bicara. Pertama adalah bahasanya, alhamdulillah saya mengerti bahasa Inggrid yang dia gunakan, walau pun dia berbicara 3 bahasa, yaitu Inggring, Indonesia, dan Minang. Ada satu kosa kata yang tidak kunjung saya mengerti hingga akhir yaitu "pitih". Saya pikir ini kosa kata b. Inggris baru. Ternyata itu adalah bahasa minang yang berarti uang.
Bersama Kim, orang Korea |
Setelah bebarapa kali mengatakan pada Horge bahwa kami harus pergi jalan-jalan lagi dan foto-foto, akhirnya dia berhenti juga bicara. Mungkin sejam lebih kami ngobrol. Kami pun jalan-jalan di pantai.
Ani mengajak kami ke Pulau Pisang Kecil. Walau pun namanya pulau pisang di sana tidak ada pisang. Di tengah jalan kami bertemu orang Korea. Ani mengajaknya ngobrol, namun orang tersebut hampir tidak bisa bahasa Inggris sama sekali. Ia menunjuk ke arah teman-temannya sekitar 5 atau 6 orang. Kami berkenalan dengan salah satu dari mereka yang bahasa Inggrisnya lumayan, walau pun lebih banyak bahasa isyaratnya juga. Namanya Kim. Katanya mereka bekerja di Perindo. Kami berjalan bersama-sama ke Pulau Pisang Kecil.
Berjalan Ke Pulau Pisang Kecil |
Di Pulau Pisang Kecil kami foto-foto lagi. Kami juga bertemu beberapa keluarga Ani. Karena lapar, kami kembali ke tempat Bang Adi, meninggalkan orang-orang Korea tersebut.
Di tempat Bang Adi, kami mulai makan siang. Piring dan sendok pinjam di sana karena kami lupa bawa. Saat kami sedang makan, para orang Korea lewat. Kami memanggil mereka dan mengajak makan, namun mereka menolak. Terakhir kami melihat Kim dan memanggilnya, ia pun menghampiri kami. Kami menyuguhkan kue dari Azra yang berasal dari Sicincin, ia pun memakannya. Saat kami menyodorkan bakwan, ia mengatakan kalu tadi pagi ia juga makan bakwan. Mba Sukal menawarkan kerupuk. Semua yang kami tawarkan di bungkus plastik, maklum, bekal dari rumah.
Ani mengatakan bahwa di tempat Bang Adi ada penginapan. Kim bertanya dengan isyarat tangan membentuk kotak. Saya dan Ani bingung tidak mengerti. Rupanya Mba Sukal mengerti bahwa ia menanyakan AC. Memang anak biologi pandai bahasa isyarat, hehe. Kemudian Kim pamit ke tempat teman-temannya.
Setelah makan, kami shalat Zuhur di tempat shalat. Waktu itu sekitar pukul 3. Setelah shalat kami kembali ke tempat Bang Adi dan Horge untuk foto-foto. Setelah itu kami pulang.
0 Komentar