Kegagalan dan Kemauan Untuk Bangkit
Sudah dua minggu saya berada di Sumatera Barat. Teringat percakapan kemarin dengan seorang teman kosan tentang penjalanan saya kemari. Saya tersadarkan akan sesuatu. Tentang hati dan perasaan, apa yang sebenarnya saya rasakan terhadap itu semua. Inilah curhatan saya.
Bagi yang pernah baca artikel lain mungkin sudah tahu bahwa saya adalah pengangguran dengan status hanya lulusan SMA. Sebenarnya saya pernah kuliah di Fakultas Kedokteran sampai semester 8 dan saya sudah sempat merasakan coas di rumah sakit. Skripsi saya sudah selesai dan sudah disidang. Namun saya berhenti sebelum mendapat gelar Sarjana Kedokteran karena masih kurang 10 SKS. IPK terakhir saya 3,47. Saya seorang penerima beasiswa penuh.
Mungkin orang-orang yang membacanya akan sangat menyayangkan mengapa saya berhenti. Tidak hanya pembaca, para dosen, teman-teman, orang tua, dan semua orang yang saya ceritakan sangat menyayangkannya. Tapi inilah keputusan saya.
Jika ditanya, apakah saya menyesal? Jawaban saya adalah tidak. Saya menghargai setiap waktu yang saya habiskan di bangku kuliah walau pun akhirnya tidak mendapat gelar apa-apa. Karena di sanalah saya mengenal teman-teman saya, para dosen, para dokter dan orang-orang yang menerima saya apa adanya. Saya belajar organisasi dan mengenal orang banyak. Ada pengalaman yang berharga di sana.
Lalu mengapa saya harus berhenti? Teman-teman mungkin sudah tahu apa yang terjadi pada pertengahan tahun 2010 kemarin. Sejak itu hidup saya berubah. Saya mencoba bangkit namun saya tidak bisa sama seperti dulu lagi. Walau pun akhirnya saya kembali ke bangku kuliah, namun saya sudah tidak bisa maksimal. Hingga akhirnya saya hanya masuk satu bulan lalu cuti dua bulan. Masuk lagi dan berhenti di tengah jalan lalu cuti lagi. Dan ketika masuk lagi, saya malah tidak ikut ujian. Kuliah saya kacau namun saya masih berjuang.
Hingga akhirnya memasuki bulan-bulan terakhir kemarin. Saya merasa itu merupakan waktu terburuk dalam hidup saya. Saya tinggal di Jakarta, jauh dari orang tua, namun saya tidak kuliah sama sekali. Saya tidak memberi tahu mereka bahwa saya tidak kuliah karena tidak mau membuat mereka khawatir. Tapi saya juga tidak mau ke kampus walau pun sudah diajak oleh teman saya karena merasa tidak siap menghadapi dosen, meski hanya diajak ngobrol untuk memecahkan masalah.
Saya hanya mengurung diri di kamar, walau pun kamar saya tidak pernah dikunci karena kuncinya sudah diambil oleh ibu kosan. Pekerjaan saya hanya di depan internet, baca manga dan main game. Makan hanya mie satu kali sehari. Kadang seharian saya tidak bicara pada siapa pun. Saya memutuskan komunikasi dari orang-orang. SMS jarang saya balas. Telpon tidak saya angkat kecuali dari orang tua atau teman satu kosan. Facebook tidak pernah saya buka. Pintu kamar selalu tertutup. Jika ada tamu yang mengunjungi teman satu kosan saya, saya semakin menciut dalam kamar tanpa suara. Saya tidak mau sampai bertemu dengan teman sekelas mau pun adik kelas. Dalam hati saya merasa malu, rendah diri, tidak PD dengan keadaan diri saya. Pertanyaan yang paling saya takuti jika bertemu dengan orang yang saya kenal adalah, Sekarang stase apa? Karena saya tidak memiliki jawabannya.
Ketika akhirnya saya mengaku pada orang tua bahwa saya tidak kuliah, maka mereka menyuruh saya pulang ke Kalimantan. Saya tidak berani membantah, namun hati saya galau. Jujur, saya belum siap. Saya hanya memberi tahu ibu kosan. Teman satu kosan yang sangat perhatian pada saya pun belum saya beritahu. Dalam hati saya ingin kabur. Orang bilang, jika sudah pernah melakukan satu kali, maka berikutnya tidak akan sulit lagi.
Dua hari setelah ulang tahun saya yang ke dua puluh lima, saya mengambil keputusan. Dimulai dari Senin pagi dua minggu yang lalu saya tahu apa yang saya inginkan. Saya mulai bergerak. Saya ingin memulai hidup baru. Saya membeli tiket, koper baru, baju baru, dan modem. Namun waktu itu saya masih berpikir untuk kabur.
Malamnya saya berbicara lama dengan adik kelas saya. Terima kasih kepada dia, akhirnya saya berani ke kampus untuk menyatakan bahwa saya ingin berhenti kuliah. Setelah setengah tahun tidak ke kampus akhirnya saya menghadap. Mungkin karena saya sudah mengambil keputusan maka apa pun akan saya hadapi. Dan terima kasih kepada para dosen. Walau pun tanpa saya minta, tetap memberi saya transkrip nilai sebagai bukti bahwa saya pernah kuliah. Saya berpamitan dengan para dosen yang saya temui dan juga teman-teman di kampus. Tidak ada satu pun teman yang mempertanyakan keputusan saya, tapi ini cukup melegakan. Saya bisa berpamitan sambil tersenyum. Terima kasih kepada adik kelas saya, saya bisa mengakhiri kuliah dengan baik-baik. Saya juga menelpon pemberi beasiswa, namun waktu itu nomer beliau sedang tidak aktif.
Saat saya berpamitan dengan seorang kaka kelas di telpon, ia mendukung keputusan saya. Ia bilang saya terdengar bahagia. Sampai saat itu saya masih menyimpan sebuah rahasia dari siapa pun, yaitu tempat tujuan saya.
Pada hari H, teman kosan saya meminta pengunduran jadwal ujiannya demi mengantar saya ke bandara. Saya bahkan diminta memperlihatkan tiket saya, mungkin dia belum sepenuhnya mempercayai saya, walau pun saya memang tidak bisa dipercaya. Saya menghilang dari pandangannya saat masuk ke ruang ceck in untuk penerbangan ke Kalimantan. Dan setelah itu, rencana saya pun dimulai.
Saya keluar dari teminal A dan pergi ke terminal B untuk terbang ke Sumatera. Ketika ternyata saya terlewat waktu cek in, sempat terpikir apakah saya belum ditakdirkan pergi ke Sumatera. Namun saya terbantu oleh seorang satpam. Walau pun dengan harga yang lebih tinggi saya masih bisa ikut penerbangan selanjutnya.
Di ruang tunggu bandara saya menelpon orang tua saya. Mereka sudah siap menjemput kepulangan saya. Saya berbicara panjang lebar sampai akhirnya saya mengatakan bahwa saya belum siap pulang. Mama menangis dan memohon saya pulang. Saya sadar bahwa saya bukan anak yang baik, tapi inilah keputusan saya. Semula saya ingin kabur tanpa memberi tahu mereka, tapi saya yakin mereka akan mencari saya dan saya tidak mau. Maka walau pun berat saya tetap memberi tahu mereka dan tetap dengan keputusan saya. Dan hari itu saya terbang ke Sumatera.
Terima kasih kepada travel, saya akhirnya sampai ke Bukit Tinggi. Terima kasih kepada penjaga hotel, saya bisa ke Bank. Terima kasih kepada teller bank, saya tahu jalan ke Padang. Terima kasih kepada pengurus kosan saya sekarang memiliki tempat tinggal.
Seperti saya katakan, sudah dua minggu saya di sini. Itulah waktu yang saya perlukan untuk menata hati. Jika semula saya hanya memberi tahu orang tua tentang keberadaan saya di Padang, sekarang saya sudah berani memberitahu teman-teman yang lain, yang awalnya akan saya beritahu setahun lagi. Karena saya yakin, saya tidak salah, jadi tidak ada yang perlu ditutupi.
Jika ditanya, apakah sekarang saya bahagia? Ya, saya bahagia. Walau pun saya masih pengangguran, tapi saya berusaha mencari pekerjan. Saya bisa tersenyum dan berkomunikasi dengan orang lain. Di sini saya memiliki teman-teman baru sambil belajar Bahasa Minang. Saya pun tidak memutuskan hubungan dengan teman-teman lama saya. Saya mulai membuka facebook, update status di Twitter, membalas SMS, menelpon teman saya.
Saya telah mengalami kegagalan. Gagal dalam bangku kuliah. IPK bukanlah jaminan untuk kesuksesan kuliah, saya contohnya. Namun sekarang saya tidak menyesal. Setahun kebelakang merupakan waktu yang cukup bagi saya untuk terpuruk. Sekarang saya mencoba bangkit. Saya memiliki mimpi-mimpi dan saya akan meraihnya.
Mungkin itulah curhatan saya. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya
Bagi yang pernah baca artikel lain mungkin sudah tahu bahwa saya adalah pengangguran dengan status hanya lulusan SMA. Sebenarnya saya pernah kuliah di Fakultas Kedokteran sampai semester 8 dan saya sudah sempat merasakan coas di rumah sakit. Skripsi saya sudah selesai dan sudah disidang. Namun saya berhenti sebelum mendapat gelar Sarjana Kedokteran karena masih kurang 10 SKS. IPK terakhir saya 3,47. Saya seorang penerima beasiswa penuh.
Mungkin orang-orang yang membacanya akan sangat menyayangkan mengapa saya berhenti. Tidak hanya pembaca, para dosen, teman-teman, orang tua, dan semua orang yang saya ceritakan sangat menyayangkannya. Tapi inilah keputusan saya.
Jika ditanya, apakah saya menyesal? Jawaban saya adalah tidak. Saya menghargai setiap waktu yang saya habiskan di bangku kuliah walau pun akhirnya tidak mendapat gelar apa-apa. Karena di sanalah saya mengenal teman-teman saya, para dosen, para dokter dan orang-orang yang menerima saya apa adanya. Saya belajar organisasi dan mengenal orang banyak. Ada pengalaman yang berharga di sana.
Lalu mengapa saya harus berhenti? Teman-teman mungkin sudah tahu apa yang terjadi pada pertengahan tahun 2010 kemarin. Sejak itu hidup saya berubah. Saya mencoba bangkit namun saya tidak bisa sama seperti dulu lagi. Walau pun akhirnya saya kembali ke bangku kuliah, namun saya sudah tidak bisa maksimal. Hingga akhirnya saya hanya masuk satu bulan lalu cuti dua bulan. Masuk lagi dan berhenti di tengah jalan lalu cuti lagi. Dan ketika masuk lagi, saya malah tidak ikut ujian. Kuliah saya kacau namun saya masih berjuang.
Hingga akhirnya memasuki bulan-bulan terakhir kemarin. Saya merasa itu merupakan waktu terburuk dalam hidup saya. Saya tinggal di Jakarta, jauh dari orang tua, namun saya tidak kuliah sama sekali. Saya tidak memberi tahu mereka bahwa saya tidak kuliah karena tidak mau membuat mereka khawatir. Tapi saya juga tidak mau ke kampus walau pun sudah diajak oleh teman saya karena merasa tidak siap menghadapi dosen, meski hanya diajak ngobrol untuk memecahkan masalah.
Saya hanya mengurung diri di kamar, walau pun kamar saya tidak pernah dikunci karena kuncinya sudah diambil oleh ibu kosan. Pekerjaan saya hanya di depan internet, baca manga dan main game. Makan hanya mie satu kali sehari. Kadang seharian saya tidak bicara pada siapa pun. Saya memutuskan komunikasi dari orang-orang. SMS jarang saya balas. Telpon tidak saya angkat kecuali dari orang tua atau teman satu kosan. Facebook tidak pernah saya buka. Pintu kamar selalu tertutup. Jika ada tamu yang mengunjungi teman satu kosan saya, saya semakin menciut dalam kamar tanpa suara. Saya tidak mau sampai bertemu dengan teman sekelas mau pun adik kelas. Dalam hati saya merasa malu, rendah diri, tidak PD dengan keadaan diri saya. Pertanyaan yang paling saya takuti jika bertemu dengan orang yang saya kenal adalah, Sekarang stase apa? Karena saya tidak memiliki jawabannya.
Ketika akhirnya saya mengaku pada orang tua bahwa saya tidak kuliah, maka mereka menyuruh saya pulang ke Kalimantan. Saya tidak berani membantah, namun hati saya galau. Jujur, saya belum siap. Saya hanya memberi tahu ibu kosan. Teman satu kosan yang sangat perhatian pada saya pun belum saya beritahu. Dalam hati saya ingin kabur. Orang bilang, jika sudah pernah melakukan satu kali, maka berikutnya tidak akan sulit lagi.
Dua hari setelah ulang tahun saya yang ke dua puluh lima, saya mengambil keputusan. Dimulai dari Senin pagi dua minggu yang lalu saya tahu apa yang saya inginkan. Saya mulai bergerak. Saya ingin memulai hidup baru. Saya membeli tiket, koper baru, baju baru, dan modem. Namun waktu itu saya masih berpikir untuk kabur.
Malamnya saya berbicara lama dengan adik kelas saya. Terima kasih kepada dia, akhirnya saya berani ke kampus untuk menyatakan bahwa saya ingin berhenti kuliah. Setelah setengah tahun tidak ke kampus akhirnya saya menghadap. Mungkin karena saya sudah mengambil keputusan maka apa pun akan saya hadapi. Dan terima kasih kepada para dosen. Walau pun tanpa saya minta, tetap memberi saya transkrip nilai sebagai bukti bahwa saya pernah kuliah. Saya berpamitan dengan para dosen yang saya temui dan juga teman-teman di kampus. Tidak ada satu pun teman yang mempertanyakan keputusan saya, tapi ini cukup melegakan. Saya bisa berpamitan sambil tersenyum. Terima kasih kepada adik kelas saya, saya bisa mengakhiri kuliah dengan baik-baik. Saya juga menelpon pemberi beasiswa, namun waktu itu nomer beliau sedang tidak aktif.
Saat saya berpamitan dengan seorang kaka kelas di telpon, ia mendukung keputusan saya. Ia bilang saya terdengar bahagia. Sampai saat itu saya masih menyimpan sebuah rahasia dari siapa pun, yaitu tempat tujuan saya.
Pada hari H, teman kosan saya meminta pengunduran jadwal ujiannya demi mengantar saya ke bandara. Saya bahkan diminta memperlihatkan tiket saya, mungkin dia belum sepenuhnya mempercayai saya, walau pun saya memang tidak bisa dipercaya. Saya menghilang dari pandangannya saat masuk ke ruang ceck in untuk penerbangan ke Kalimantan. Dan setelah itu, rencana saya pun dimulai.
Saya keluar dari teminal A dan pergi ke terminal B untuk terbang ke Sumatera. Ketika ternyata saya terlewat waktu cek in, sempat terpikir apakah saya belum ditakdirkan pergi ke Sumatera. Namun saya terbantu oleh seorang satpam. Walau pun dengan harga yang lebih tinggi saya masih bisa ikut penerbangan selanjutnya.
Di ruang tunggu bandara saya menelpon orang tua saya. Mereka sudah siap menjemput kepulangan saya. Saya berbicara panjang lebar sampai akhirnya saya mengatakan bahwa saya belum siap pulang. Mama menangis dan memohon saya pulang. Saya sadar bahwa saya bukan anak yang baik, tapi inilah keputusan saya. Semula saya ingin kabur tanpa memberi tahu mereka, tapi saya yakin mereka akan mencari saya dan saya tidak mau. Maka walau pun berat saya tetap memberi tahu mereka dan tetap dengan keputusan saya. Dan hari itu saya terbang ke Sumatera.
Terima kasih kepada travel, saya akhirnya sampai ke Bukit Tinggi. Terima kasih kepada penjaga hotel, saya bisa ke Bank. Terima kasih kepada teller bank, saya tahu jalan ke Padang. Terima kasih kepada pengurus kosan saya sekarang memiliki tempat tinggal.
Seperti saya katakan, sudah dua minggu saya di sini. Itulah waktu yang saya perlukan untuk menata hati. Jika semula saya hanya memberi tahu orang tua tentang keberadaan saya di Padang, sekarang saya sudah berani memberitahu teman-teman yang lain, yang awalnya akan saya beritahu setahun lagi. Karena saya yakin, saya tidak salah, jadi tidak ada yang perlu ditutupi.
Jika ditanya, apakah sekarang saya bahagia? Ya, saya bahagia. Walau pun saya masih pengangguran, tapi saya berusaha mencari pekerjan. Saya bisa tersenyum dan berkomunikasi dengan orang lain. Di sini saya memiliki teman-teman baru sambil belajar Bahasa Minang. Saya pun tidak memutuskan hubungan dengan teman-teman lama saya. Saya mulai membuka facebook, update status di Twitter, membalas SMS, menelpon teman saya.
Saya telah mengalami kegagalan. Gagal dalam bangku kuliah. IPK bukanlah jaminan untuk kesuksesan kuliah, saya contohnya. Namun sekarang saya tidak menyesal. Setahun kebelakang merupakan waktu yang cukup bagi saya untuk terpuruk. Sekarang saya mencoba bangkit. Saya memiliki mimpi-mimpi dan saya akan meraihnya.
Mungkin itulah curhatan saya. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya
2 Komentar
keren gan mengharuhkan sukses gan
BalasHapusTerima kasih (^_^)
Hapus