Wahai Akhwat, Jangan Merasa Lebih Baik
Artikel ini ditulis sebagai buah pemikiran saya dari hasil percakapan dengan beberapa teman. Semoga bisa menjadi renungan bagi saya khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wahai sekelompok wanita yang menyebut diri mereka adalah akhwat, janganlah kalian merasa lebih baik dari mereka yang kalian anggap bukan berasal dari kelompok kalian.
Sebagai seseorang yang pernah ikut dalam pergerakan (walau cuma sedikit) saya mengaku, kadang terbersit dalam hati bahwa saya lebih baik. Ketika saya berada di angkot dengan mengenakan rok panjang dan jilbab lebar, saat memandang perempuan lain yang hanya mengenakan kerudung pendek dan celana levis, saya sempat berpikir, wah orang ini pakaiannya belum syar'i. Saya agak lebih baik.
Padahal, apakah pantas kita menilai seseorang hanya dari pakaiannya? Siapa tahu dia puasanya lebih rajin, shalat malamnya tidak pernah ketinggalan, sedekahnya selalu mengalir, hubungannya dengan sesama manusia terjalin baik. Apakah kita bisa tahu? Bisa jadi pakaian kita agak lebih syar'i, tapi di bidang lain, kita kalah jauh dari mereka.
Seorang teman yang tidak ikut dalam pergerakan apa-apa pernah berkata pada saya. Dia tidak mau ikut dalam kelompok Islam mana pun karena tidak suka dengan salah satu sikap mereka. Pada suatu hari, dia bertemu sekelompok akhwat. Waktu itu dia mengenakan rok dan jilbab yang agak lebar. Dia pun disambut dengan hangat dan ramah. Suatu ketika mereka bertemu lagi, namun waktu itu teman saya sedang mengenakan celana panjang. Kali ini sambutan para akhwat itu berbeda dengan sebelumnya. Seakan ada kata yang tersirat, kamu bukan golongan kami. (Saya percaya tidak semua seperti ini)
Apakah sesempit itu arti dari kata akhwat? Apakah hanya karena mereka tidak ikut pergerakan, tidak mengenakan rok dan jilbab lebar, maka mereka bukan akhwatmu? Bukan saudarimu? Bukankah semua muslim adalah bersaudara. Mengapa kata akhwat dan makna persaudaraan yang begitu luas harus dipersempit?
Seorang teman awam yang lain bercerita. Ia memiliki seorang teman yang boleh dibilang seorang aktivis. Saking giatnya dia dalam pergerakan, boleh dibilang motor yang ia miliki tidak pernah bersih karena selalu digunakan untuk kepentingan bersama. Pada suatu hari aktivis ini melakukan suatu kesalahan. Dia menyukai seseorang dan mulai berpacaran.
Panas setahun dihapus oleh hujan sehari. Dia dikucilkan dari pergerakan. Semua yang pernah dia lakukan seakan tidak ada artinya. Bahkan akhirnya dia lebih memilih curhat kepada teman saya yang orang awam dari pada para akhwat yang mengaku saudari namun tidak memberi solusi.
Ada juga cerita lain, kali ini seorang ikhwan. Dia adalah seorang aktivis KAMMI (maaf menyebut organisasi, jika ada yang tersinggung akan saya hapus) dan gemar menulis di suatu majalah Islami. Suatu ketika dia melakukan sesuatu yang sama dengan cerita di atas, yaitu berpacaran. Maka nama dia yang di majalah biasanya tertulis aktivis KAMMI langsung diralat oleh editor dengan aktivis sosial.
Saya tidak menyalahkan kebijakan organisasi, semua memiliki aturan masing-masing. Namun jika menyangkut nama Islam, janganlah membeda-bedakan manusia karena organisasi atau pun pakaiannya. Yang berhak menilai siapa yang lebih baik hanyalah Allah. Dan sebagai manusia kita hanya bisa berlomba-lomba dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kebajikan.
Wahai sekelompok wanita yang menyebut diri mereka adalah akhwat, janganlah kalian merasa lebih baik dari mereka yang kalian anggap bukan berasal dari kelompok kalian.
Sebagai seseorang yang pernah ikut dalam pergerakan (walau cuma sedikit) saya mengaku, kadang terbersit dalam hati bahwa saya lebih baik. Ketika saya berada di angkot dengan mengenakan rok panjang dan jilbab lebar, saat memandang perempuan lain yang hanya mengenakan kerudung pendek dan celana levis, saya sempat berpikir, wah orang ini pakaiannya belum syar'i. Saya agak lebih baik.
Padahal, apakah pantas kita menilai seseorang hanya dari pakaiannya? Siapa tahu dia puasanya lebih rajin, shalat malamnya tidak pernah ketinggalan, sedekahnya selalu mengalir, hubungannya dengan sesama manusia terjalin baik. Apakah kita bisa tahu? Bisa jadi pakaian kita agak lebih syar'i, tapi di bidang lain, kita kalah jauh dari mereka.
Seorang teman yang tidak ikut dalam pergerakan apa-apa pernah berkata pada saya. Dia tidak mau ikut dalam kelompok Islam mana pun karena tidak suka dengan salah satu sikap mereka. Pada suatu hari, dia bertemu sekelompok akhwat. Waktu itu dia mengenakan rok dan jilbab yang agak lebar. Dia pun disambut dengan hangat dan ramah. Suatu ketika mereka bertemu lagi, namun waktu itu teman saya sedang mengenakan celana panjang. Kali ini sambutan para akhwat itu berbeda dengan sebelumnya. Seakan ada kata yang tersirat, kamu bukan golongan kami. (Saya percaya tidak semua seperti ini)
Apakah sesempit itu arti dari kata akhwat? Apakah hanya karena mereka tidak ikut pergerakan, tidak mengenakan rok dan jilbab lebar, maka mereka bukan akhwatmu? Bukan saudarimu? Bukankah semua muslim adalah bersaudara. Mengapa kata akhwat dan makna persaudaraan yang begitu luas harus dipersempit?
Seorang teman awam yang lain bercerita. Ia memiliki seorang teman yang boleh dibilang seorang aktivis. Saking giatnya dia dalam pergerakan, boleh dibilang motor yang ia miliki tidak pernah bersih karena selalu digunakan untuk kepentingan bersama. Pada suatu hari aktivis ini melakukan suatu kesalahan. Dia menyukai seseorang dan mulai berpacaran.
Panas setahun dihapus oleh hujan sehari. Dia dikucilkan dari pergerakan. Semua yang pernah dia lakukan seakan tidak ada artinya. Bahkan akhirnya dia lebih memilih curhat kepada teman saya yang orang awam dari pada para akhwat yang mengaku saudari namun tidak memberi solusi.
Ada juga cerita lain, kali ini seorang ikhwan. Dia adalah seorang aktivis KAMMI (maaf menyebut organisasi, jika ada yang tersinggung akan saya hapus) dan gemar menulis di suatu majalah Islami. Suatu ketika dia melakukan sesuatu yang sama dengan cerita di atas, yaitu berpacaran. Maka nama dia yang di majalah biasanya tertulis aktivis KAMMI langsung diralat oleh editor dengan aktivis sosial.
Saya tidak menyalahkan kebijakan organisasi, semua memiliki aturan masing-masing. Namun jika menyangkut nama Islam, janganlah membeda-bedakan manusia karena organisasi atau pun pakaiannya. Yang berhak menilai siapa yang lebih baik hanyalah Allah. Dan sebagai manusia kita hanya bisa berlomba-lomba dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kebajikan.
0 Komentar