Jumat kemarin, teman saya dari Cilacap Jawa Tengah menikah. Sebagai seorang teman dan karena ada kesempatan, saya pun menyempatkan hadir. Saya menempuh perjalanan Jakarta-Cilacap seorang diri.

Sebenarnya acara pernikahannya tidak murni menggunakan adat Jawa, namun tetap ada kebiasaan yang yang merupakan tradisi lokal dan berbeda dengan kebiasaan saya di Kalimantan Selatan.

Yang menjadi perhatian saya di sini adalah kebiasaan tetangga atau penduduk sekitar dengan memberikan sembako selain uang dan kado. Bahkan yang memberi sembako ini mungkin jumlahnya lebih dari 100 orang. Sembako yang diberikan biasanya terdiri dari beras, soun, kerupuk, mie keriting, tempe, kol, wortel, dan lain-lain.

Ada seseorang yang bertugas untuk mencatat pemberian si A terdiri dari apa saja. Tujuan pencatatan ini bukannya untuk membandingkan si A memberi apa dan si B memberi apa. Tujuannya adalah jika suatu saat si A mengadakan hajatan, maka sebagai acuan untuk memberikan sembako balik. Harapannya supaya jangan sampai kurang, jika lebih, lebih baik. Tidak mau kan jika kurang lalu si A berkata, kemarin aku memberi segini tapi dia hanya memberi ini.

Bahan-bahan semabko ini biasanya dimasak sebagai tambahan hidangan untuk para tamu. Kerupuk dan cemilan juga dihidangkan di depan. Walau begitu banyaknya jumlah sembako biasanya tidak habis dalam acara pernikahan. Maka sembako yang berlebih ini kelak akan dijual ke warung yang merupakan tempat penyedia bahan makanan untuk hajatan tersebut.

Untuk memasak, mencuci piring, menghidangkan dan sebagainya semua juga dibantu oleh tetangga. Untuk poin yang satu ini sama saja dengan daerah saya.

Foto sembako dari warga sekitar
sembako
sembako
sembako