Belanja di Pasar Raya
Sesampainya di kantor pos, tidak banyak orang yang bergerombol di depan pengumuman. Tidak sampai sepuluh malah. Saya pun mulai membaca. Pagi ini baru pukul 9, namun terasa cukup terik. Matahari datang dari arah belakang saya. Kaki saya yang terbalut celana panjang hitam terasa panas. Mungkin ini juga yang menyebabkan orang lain malas berdiri di depan pengumuman pada jam seperti ini.
Saya mendapatkan bahwa lowongan dari bimbel Motiva Edu tempat saya mendaftar sebagai tenaga pengajar Bahasa Arab diperpanjang. Padahal Senin kemarin saya bolak-balik kantor pos takut terlambat mendaftar. Saya pun menarik kesimpulan bahwa yang mendaftar masih kurang atau belum memenuhi kriteria Motiva Edu. Saya hanya berharap bahwa saya mungkin belum diterima, namun juga belum ditolak. Saya harap untuk penentuan diterimanya tidak hanya berdasarkan surat lamaran. Maksud saya, jikalau saya pun ditolak, saya berharap diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuan saya. Dan jika ternyata memang tidak sesuai yang diharapkan, setidaknya saya sudah berusaha.
Saya tidak berlama-lama berdiri di depan pengumuman. Selanjutnya saya pergi ke pasar. Rencananya saya ingin membeli jaket atau sweater atau sejenisnya. Intinya pakaian untuk melapisi baju saya yang biasanya berlengan pendek saat di dalam rumah. Selama ini saya menggunkan jaket berwarna hijau jika keluar rumah. Sebenarnya warnanya kurang cocok, di samping itu saya selalu mengenakan yang itu-itu juga karena hanya punya satu. Jadi tidak ada salahnya membeli lagi.
Saya sampai pada sebuah toko yang menjual sweater. Saya pun mulai melihat-lihat. Ada sebuah sweater yang memenuhi kriteria saya. Saya tanya "Bara?". Inilah adalah satu dari sedikit kosa kata yang saya bisa. "Ikoh? Dalapan puluah limo" jawab sang penjual. Dalam hati saya ingin ketawa saat mendengar kata "ikoh". Saya menebak artinya adalah ini.
Selanjutnya terjadilah tawar-menawar dan saya menggunkan bahasa Indonesia. Saya mematikan di harga 45.000 dan penjual 50.000. Tidak terjadi kesepakatan dantara kami dan saya tidak jadi membeli. Saya tidak menyesalinya karena saya juga tidak begitu tertarik dengan sweater tersebut. Anggaran saya sebenarnya maksimal 50.000.
Saya kembali berjalan memasuki pasar. Rata-rata toko-toko baru buka. Para penjual menyapa saya mengajak singgah dan bertanya apa yang saya cari. Semuanya dalah bahasa Minang. Saya mengerti saat itu, hanya saja masih belum bisa mengulangi kata-katanya. Saat saya katakan mencari sweater, banyak penjual yang menggeleng. Hingga saya merasa ada yang mencubit saya.
Kaget memang, tapi saya biasa saja karena proses berpikir saya yang lambat. Siapa ya yang berani mencubit saya di pasar? Masa penjual? Ternyata yang mencubit saya adalah Taci. Ia sedang berbelanja bersama Devy. Ia pun mengajak saya belanja bareng. Lebih utamanya mengikuti dia belanja. Namun tidak ada salahnya dari pada jalan sendiri. Sebelumnya saya sudah pernah pergi ke pasar bersama Taci dan Devy. Waktu itu adalah pertama kalinya saya ke pasar.
Kami menyusuri toko-toko kain. Mereka membeli kain sebagai bahan dasar pembalut kain yang pernah saya ceritakan sebelumnya. Ada beberapa toko yang kami datangi. Saya senang mendengar tawar-menawar antar taci dan penjual karena menggunakan bahasa Minang. Walau pun saya belum mengerti, inilah cara saya berlatih, dimulai dari mendengar. Selama ini saya selalu berbicara bahasa Indonesia di kosan.
Taci tampak begitu mengerti jenis-jenis kain. Ia mengajarkan beberapa nama kain pada saya, sayang saya sudah lupa lagi. Di suatu toko, saat meminta bon, sang penjual bertanya atas nama siapa. Taci menjawab atas nama Devy. Kata penjual atas nama 3 angel aja ya. Karena kami adalah 3 orang cewe. Dan dia benar-benar menuliskannya 3 angel.
Berikutnya kami pergi ke tempat obras. Taci minta diobraskan pakaian yang ia bikin. Saya salut dengan keterampilan yang Taci miliki. Ia mendesain dan menjahit pakaian itu sendiri. Itu merupakan pakaian yang dipesan oleh salah seorang anggota kosan. Ia bilang sebenarnya masih banyak salah-salah. Tapi menurut saya lebih baik dari pada saya yang tidak bisa apa-apa. Dalam hati saya ingin belajar padanya jika ada kesempatan.
Setelah itu kami pergi mencari jaket. Taci bertanya saya mencari jaket yang seperti apa. Saya bilang yang berwarna netral dan bisa dipakai keluar rumah. Ia lalu mengajak kami ke blok A. Saya mengikuti saja dari belakang. Kami sampai di satu toko. Saya mencoba beberapa sweater yang ditawarkan, namun ukurannya kekecilan dan warnanya tidak sesuai keinginan saya. Harganya sekitar 35.000. Kami kembali pergi ke toko lain. Akhirnya ada jaket yang memenuhi krtiteriaku. Ukurannya sesuai. Warnanya hitam dengan motif putih di depannya. Harganya 35.000.
Kami kembali ke tempat obras. Sebelumnya Taci mengambil dua buah rice cooker yang baru saja diperbaiki. Menurutnya itu adalah milik anak kosan yang rusak. Di tempat obras, penjahitnya masih sedang mengobras. Saya duduk dan menperhatikan. Dunia jahit-menjahit sudah lama menjadi perhatian saya. Saya sudah bisa menggunakan mesin jahit tanpa listrik. Hal ini karena di rumah saya terdapat mesin jahit punya abah. Hanya saja kegunaannya selama ini sebatas menjahit pakaian yang robek.
Setelah semua keperluan di pasar selesai, saatnya untuk pulang. Devy harus masuk kuliah pukul 1. Sedangkan Taci harus ke Telkom untuk bayar tagihan telpon dan speedy. Karena saya ingin jalan-jalan maka saya menemani Taci. Belanjaan semua kami serahkan kepada Devy. Kami mengantarnya sampai angkot.
Saya dan Taci berjalan keluar pasar hingga ke jalan. Kemudian kami maik angkot biru jurusan lapat. Menurut Taci kami akan lewat jalan utama yaitu Jl. Sudirman. Taci menunjukkan rumah walikota hingga gubernur dan beberapa pekantoran. Menurutnya, kantor imingrasi juga berada di jalan yang sama. Taci menanyakan untuk apa saya mengetahui kantor imigrasi. Saya katakan untuk membuat pasport. Belum sekarang sih, tapi siap-siap saja. Taci selalu melewati jalan ini jika ia pulang ke rumahnya.
Akhirnya kami sampai ke kantor telkom. Saya melihat kantor pelayanan dan banyak orang duduk antri di sana, namun Taci melewatinya. Taci masuk ke ruangan yang berada di belakangnya dan jauh lebih besar. terdapat AC dan sofa di ruangan tersebut. Saya pun langsung duduk. Rupanya itu adalah ruang pelayanan juga namun lebih sepi. Transaksi pun berlangsung lebih cepat. Taci kemudian pergi ke kamar kecil karena ia sudah kebelet dari tadi. Setelah selesai, saya bertanya, kenapa orang-orang tidak pergi ke ruangan ini. Ruangannya lebih sejuk dan pelayanan lebih cepat. Taci bilang mungkin banyak yang belum tahu sehingga memilih ke ruangan pelayanan pertama yang kami lihat.
Kami pulang dan menaiki angkot yang sama. Dalam angkot saya bercerita tentang kejadian yang saya alami malam sebelumnya bersama teman online saya, oh ya, namanya Jake. Menurut taci, dia adalah teman yang baik.
Dalam angkot Taci bercerita bahwa kami akan ke pasar raya dengan jalur yang berbeda dari jalur saat kami berangkat tadi. Memang begini keadaan jalur angkot di Padang. Angkot jurusan lurus yang membawa saya dari Pasar Baru ke Pasar Raya juga melalui jalur yang berbeda saat pulang dan pergi.
Kami sampai di pasar dan harus berjalan di tengah pasar untuk mencapai angkot jurusan lurus. Saya juga melewati daerah ini saat pertama kali sendiri ke Padang. Di tengah jalan, saya melihat pakaian yang menarik perhatian saya. Saya pun mengatakannya kepada Taci. Kami menghampiri toko tersebut dan menanyakan harganya. Pakaian tersebut bukan jaket dan bukan sweater, tapi merupakan pakaian luar yang sengaja digunakan dengan dalaman. Bahannya terlihat dingin. Saya memilih warna hitam karena lebih netral. Harga yang ditawarkan adalah 35.000 dan tidak bisa ditawar. Tapi berhubung saya sudah terlanjur suka jadi tetap dibeli bahkan tanpa perlu dicoba.
Taci membeli segelas es teh karena haus. Sebenarnya saya juga haus, tapi berhubung sedang puasa, jadi harus ditahan.
Kami sampai ke angkot hijau jurusan lurus dan langsung naik. Di dalam angkot kami berbicara seputar agama sampai perihal shalat. Taci sangat perhatian terhadap banyaknya perempuan yang mengenakan mukena transparan. Ia berharap para ulama terkemuka mau menyinggung hal tersebut. Saat sampai pada topik shalat berjamaah, Taci mengatakan sangat sulit untuk melakukannya. Hal ini karena tidak ada yang terbiasa menjadi iman. Saya katakan saya masih sempat shalat berjamaah dengan teman sekamar saya, Mba Sukal. Biasanya yang jadi imam bergantian. Memang, untuk menjadi imam perlu keberanian, tapi menurut saya yang penting adalah latihan. Saya teringat sebuah pengajian yang mengatakan walaupun imam dan makmum sama-sama tidak khusu dalam shalatnya, Allah tetap memandang mereka yang memilih untuk shalat berjamaah.
Akhirnya kami sampai di pondok Nena tercinta dan kami pun masuk ke kamar masing-masing.
0 Komentar