Malam tadi saya baru saja menelaah forex chart. Tiba-tiba ada penggilan rapat di lantai atas. Ini adalah pertama kalinya saya ikut rapat dan naik ke lantai atas. Saya teringat sore harinya teman sekamar saya Rika dan Azra membahas mengenai rapat.

Rapat sudah dimulai dan sedang membicarakan kaos Nena. Rapat dipimpin oleh seseorang yang menurut Rika adalah ketua suku bernama Nurul. Saat itu Rika dan Azra sedang keluar sehingga mereka tidak ikut rapat. Saya hanya mendengarkan saja karena topik ini tidak menarik perhatian saya.

Berikutnya adalah pembahasan mengenai pergi ke barale (pernikahan) ke Singkarak Sabtu kemarin. Katanya untuk pergi kesana kemarin memerlukan biaya yang besar karena jika biasanya menggunakan mobil Om Im, maka kemarin menggunakan travel. Biasanya cukup hanya dengan uang kas, maka kali ini memerlukan tambahan biaya dari anggota Nena. Bagi yang pergi kemarin dikenakan biaya 15.000 dan yang tidak pergi 7.000. Nurul juga mengatakan betapa sulitnya mengajak anggota Nena untuk pergi barale. Padahal yang barale adalah alumni Nena. Sampai akhirnya beberapa orang terpaksa membatalkan agenda masing-masing untuk pergi barale.

Dalam hati saya tertawa. Saya ingin ikut barale dan sudah mengatakannya pada Taci jauh-jauh hari. Namun pada malam hari sebelum keberangkatan Taci mengatakan bahwa mobil sudah penuh dan saya tidak bisa ikut. Saya tidak begitu kecewa waktu itu, hanya saja saya merasa tidak terima dengan pernyataannya ini. Saya mencoba menahan diri dan tidak bicara. Namun saya teringat percakapan saya dengan Taci, jika saya tidak setuju akan sesuatu hal, katakan di depan dan jangan malah membangkang di belakang.

Seseorang bernama Delvi mencoba menjelaskan lebih rinci mengapa diperlukan biaya tambahan. Hal ini sebenarnya tidak pernah terjadi sebelumnya. Para ketua suku berencana membicarakannya sebelum keberangkatan, namun karena waktu itu banyak yang UAS, maka rapat tertunda hingga sekarang. Selain itu mengkin para anggota baru merasa tidak kenal dengan yang barale, namun bagaimana pun juga dia adalah alumni Nena. Mba Sukal menanggapi dan menyatakan semestinya ada transparansi. Minimal di tempel di depan TV supaya semua orang tahu. Jika begini akan banyak yang tidak terima karena merasa tidak tahu apa-apa. Icha menambahkan bahwa biaya 7.000 bagi yang tidak berangkat dan 15.000 bagi yang berangkat sangat tidak seimbang. Sedangkan yang berangkat dapat makan gratis dan jalan-jalan. Mbah Sukal menambahkan perlu dilakukan perhitungan ulang. Sampailah pada angka 5.000.

Nurul bertanya apakah ada lagi yang ingin menanggapi. Saya merasa inilah waktunya saya berbicara, mungkin agak di luar konten, tapi mengatakannya akan lebih baik setelah sebelumnya saya tidak bisa menahan air mata untuk beberapa saat. Sungguh memalukan. Saya harap waktu itu tidak ada yang melihat. Saya berdiri. Mba Sukal mengatakan cukup dengan duduk. Namun saya ingin mereka semua melihat saya. pertama-tama saya menyebutkan nama dan asal saya. Saya merasa suara saya bergetar. Saya harus berhenti bicara beberapa saat untuk menahan gejolak perasaan saya. Saya pun mengungkapkan curhat saya yang ingin ikut pergi namun tidak diajak. Bahkan waktu itu saya siap jika harus bayar urunan untuk ongkos travel. Saya mengungkapkan tidak bermasalah dengan biaya 7.000 untuk yang tidak pergi. Saya juga mengakui kesalahan saya yang tidak bicara langsung pada Nurul namun hanya bicara pada Taci, walau pun saat saya bicara dengan Taci ada yang lain di tempat itu. Saya juga mengakui niat saya yang mungkin tidak ikhlas ingin pergi barale tapi ingin jalan-jalan ke Singkarak.

Setelah mengungkapkan curhatan, saya duduk dan hanya diberi tanggapan terima kasih oleh Nurul. Selanjutnya pembicaraan berlanjut seputar biaya yang harus dibayar. Saya berharap ada yang menggapi curhatan saya dengan serius. Dan akhirnya Delvi menggapinya. Sebelumnya ia menanyakan usia saya. mba Sukal menjawabnya dengan mengatakan saya kelahiran 87. Dia pun menjawab sebagai junior namun senior di Nena. Dia mengatakan sebenarnya pada hari H bahkan masih ada yang berebut kursi, makanya untuk saya juga tidak ada kuota. Dalam hati saya berkata, sangat bertentangan dengan apa yang di katakan Nurul sebelumnya, namun saya mencoba menerimanya.

Ia kemudian menambahkan bahwa saat saya berbicara pada Taci waktu itu ia juga berada di sana. Hanya saja ia tidak tahu siapa saya. Saat ia bertanya pada anggota yang lain pun tidak ada yang mengenal saya. Padahal saya sering ke ruang TV dan berhahahihi. Mereka sempat berpikir bahwa saya songong padahal saya lebih tua. Menurutnya sebagai seseorang yang lebih tua saya harus lebih mengayomi seperti Mba Sukal saat pertama kali ke Nena. Ia juga sempat menyindir saya saat saya memotong sayur di depan TV dengan mengajak ngobrol Mba Sukal. Tapi saya tidak menanggapi sedikit pun dengan mencoba berkenalan. Jadi bagaimana mereka mau mengajak saya jika kenal pun tidak. Padahal mereka akan dengan senang hati mengajak orang luar kota untuk jalan-jalan di Sumatera jika memang akrab.

Dalam hati saya tidak menyalahkan apa yang ia katakan. Taci juga menyuruh saya berkenalan dengan setiap orang baru yang saya temui di depan TV. Hanya saja otak saya mungkin tidak sebaik mereka sebagai mahasiswi. Saya pernah berkenalan dengan seseorang dan lupa keesokan harinya. Ketika Taci menyuruh untuk berkenalan lagi, dia mengatakan malas berkenalan terus. Pernah juga saya mengajak seseorang dan ia menjawab kami sudah berkenalan sebelumnya. Anggota Nena 40 lebih. Bukanlah hal yang mudah menghapalkan mereka semua. Tidak seperti mereka yang cukup menghapalkan wajah saya saja. Saya juga bukan orang yang suka berkenalan dengan semua orang yang baru saya temui. Dalam pikiran saya, seiring berjalannya waktu kami akan saling mengenal. Saya biasa mengingat wajah lebih dulu dari pada nama.

Sayangnya saya tidak memiliki kesempatan untuk menjawab pernyataannya. Mba Sukal keburu mengarahkan pembicaraan pada biaya yang harus dibayar. Tapi ia juga membela saya dengan mengatakan bahwa sebagai orang baru saya tentu dekatnya dengan orang pertama yang saya temui, yaitu Taci. Dalam hati saya bersyukur memiliki seorang teman seperti Mba Sukal. Sebagai sama-sama orang Kalimantan walaupun berbeda provinsi, ia mengerti karakter saya. Ia juga sering memberi masukan bagaimana orang Padang bertindak. Kebiasaan orang Kalimantan yang blak-blakan dan orang Padang yang suka menyindir. Tentu saja pancingan Delvi di ruang TV tidak akan kena karena saya bukan orang yang mengerti saat disindir, kecuali diomongin lansung. Tapi saya lega berbicara di sini sehingga saya tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang saya.

Rapat akhirnya berakhir dengan keputusan yang tidak berangkat bayar 5.000 ditambah 2.000 untuk biaya timbangan Taci dan yang berangkat bayar 15.000 + 2.000. Biaya di bayar ke Nurul paling lambat Kamis pagi. Setelah rapat saya menghampiri Delvi, mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan. Mungkin inilah jawaban yang bisa saya berikan untuk pernyataannya.

Kami kembali ke kamar, di sana ada Rika dan Azra. Kami menceritakan hasil rapat dengan singkat. Saat saya mengatakan pada Mba Sukal bahwa saya tidak memiliki kesempatan untuk menjawab lagi karena dipotong olehnya, ia mengatakan ini karena saya masih baru. Saya masih harus belajar. Saya mengatakan bahwa saya tidak terima dikatakan songong, baik saya lebih tua atau tidak. Ia katakan jangan dibahas lagi. Tidak ada gunanya jika sudah sampai di kamar. Ambil hikmahnya aja.

Berhubung ini adalah diary, jadi saya cerita apa adanya aja. Kapan ya terakhir kali saya merasa adanya senioritas. Saat SMA, para anggota OSDA (OSIS) sangat ketat dengan peraturannya. Namun saya dapat menerimanya karena adanya penjelasan dari awal. Saat masuk kuliah, saya menerima perlakuan saat Propesa (ospek), namun setelah itu mereka sangat mengayomi. Di sini, mungkin saya masuk pada saat yang tidak tepat. Dimana acara rutinitas Nena berupa penyambutan anggota baru telah berlalu dan perlu beberapa bulan lagi untuk terjadi. Saya beruntung ada Taci yang membantu dan teman sekamar yang baik. Namun para senior bersikap bahwa saya salah karena tidak memperkenalkan diri padahal usia saya lebih tua. Walau pun jika saya pikir-pikir mestinya mereka yang mengayomi saya. Sebagai senior mestinya mereka menjelaskan apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh. Jangan hanya bisa menyalahkan saya. Tapi inilah yang namanya sosialisasi. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya mesti lebih banyak belajar.