Runescape, Pembelajaran dari Sebuah Game
Dulu, hanya 3 hal yang saya lakukan saat online, yaitu: baca manga, main game online, download video anime atau dorama. Memang sungguh sangat tidak produktif sekali. Sekarang yang saya lakukan adalah searching, blogging, belajar bahasa Jepang, dan bisnis online. Walau begitu saya kadang masih melakukan 3 hal tersebut jika merasa jenuh, terutama main game online.
Game yang biasa saya mainkan adalah runescape. Bermula dari hobi membaca manga, saya menemukan manga yang membahas tentang MMORPG. Saya sangat menyukai manga tersebut. Karena penasaran, saya coba mencari pengertiannya lewat google. Dan karena masih penasaran, saya coba salah satunya, yaitu runescape. Walaupun tidak persis seperti manga yang saya baca, saya menyukai petualangan yang ditawarkan.
Awal-awal main, saya sangat terobsesi untuk menyelesaikan semua tugas dan meningkatkan level. Setiap hari saya hanya main game. Namun saat pindah ke Padang, saya jarang menyentuh game tersebut. Beberapa kali saat mengajak seorang teman bermain. Selebihnya saya disibukkan oleh kegiatan lain.
Tadi malam saya main lagi untuk mengisi waktu luang. Tanpa disangka saya bertemu dengan teman online saya. Dia merupakan satu-satunya teman saya di runescape. Dulu, saat saya rajin main, kami hampir setiap hari bertemu. Namun sejak saya pindah ke Padang kami tidak pernah bertemu lagi. Hingga dia menyapa saya tadi malam. Saya bahkan hampir tidak menyadari keberadaannya.
Sebenarnya saya tidak tahu apapun tentang dirinya kecuali nama dan umurnya. Tapi itu bukan masalah karena saya membatasi diri saya sendiri bahwa ini hanya pertemanan di dunia maya. Hal yang kami bicarakan biasanya hanya seputar game.
Malam tadi ia mengajak melakukan dungeonering. Dimana dalam dungeonering kita biasa bertarung bersama dalam tim untuk mengalahkan monster. Sebenarnya saya sudah pernah melakukannya beberapa kali, dan itu meninggalkan trauma tersendiri buat saya. Bukan karena saya mati atau apa, tapi berhubungan dengan kerja tim.
Waktu itu saya satu tim dengan 2 orang cowo yang baru saya temui di tempat itu juga. Merupakan hal yang lumrah membentuk tim dengan seseorang yang baru dikenal dalam dungeonering dan saya adalah seseorang yang suka mencoba hal baru. Maka dimulailah petualangan saya.
Kedua teman saya sangat cekatan. Ambil ini ambil itu. Lari kesini lari kesitu. Bunuh monster ambil kunci. Dan saat mereka hampir melakukan segala hal, saya belum berpindah dari tempat berdiri saya. Saya terpaku. Saya merasa tidak berguna, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya saya hanya ikut dalam pertarungan terakhir membunuh sang boss. Itu pun tidak banyak yang dapat saya lakukan. Hal ini terjadi di kedua lantai. Karena frustasi dengan pikiran saya sendiri, saya akhirnya pulang.
Sejak itu saya merasa enggan untuk melakukan dungeonering. Saya merasa buruk dalam kerja sama tim. Saya juga ingin berkontribusi dalam tim, tidak hanya diam dan menonton. Namun saat melihat orang lain begitu hektik, saya jadi bingung sendiri apa yang harus dikerjakan, apalagi saya baru dalam dungeonering.
Pertama kali melakukannya, saya hanya sendiri. Saya melakukannya dengan santai. Mencoba menelaah sendiri apa yang harus dikerjakan. Ketika kedua kalinya kesana dan bertemu tim yang begitu aktif, saya merasa tidak berguna, dan ini membuat saya merasa depresi. Padahal, kedua teman tim saya tidak menuntut apa-apa. Bahkan mereka tidak mengomentari sedikit pun tentang pergerakan saya yang lamban. Namun hal itu tidak sedikit pun membuat saya merasa lebih baik.
Kembali kepada teman saya yang mengajak dungeonering. Saya katakan bahwa saya baru lantai 5, ternyata dia sudah lantai 11. Dia bilang kami bisa pergi ke lantai 5 bersama-sama. Saya katakan padanya bahwa saya adalah orang yang tidak berguna dalam tim. Ia katakan itu bukan masalah baginya. Karena ajakannya, saya pikir ini waktunya saya mengatasi rasa rendah diri saya. Akhirnya kami pergi dungeonering.
Di sana kami membentuk tim yang terdiri dari 4 orang dan dipimpin oleh teman saya. Saat kami sampai di lantai 5, seorang anggota tim marah. Teman saya bilang bahwa temannya (yaitu saya) baru sampai lantai 5. Orang itu tidak terima dan langsung meninggalkan tim. Saya merasa tidak diterima dan mengatakan hal itu pada teman saya. Dia bilang orang itulah yang bodoh karena pergi.
Teman saya dan seorang anggota tim yang lain mulai bergerak. Saya masih terpaku karena pikiran saya dan kembali tidak tahu harus melakukan apa. Rasa takut kembali menghampiri saya. Rasanya saya ingin pergi saja dari tempat itu. Tapi saya juga merasa tidak enak dengan teman yang mengajak saya dan sudah bela-belain pergi ke lantai 5. Saya takut. Dan akhirnya saya meninggalkan laptop saya.
Saya tidak berani menatap layar laptop. Takut mendengar apa yang akan dikatakan teman saya. Saya biarkan avatar saya diam tidak bergerak. Saya curhat pada teman sekamar saya tentang game yang saya mainkan. Saya pikir itu adalah gambaran dari kehidupan nyata saya. Saya bukanlah orang yang pandai dalam kerja tim.
Saat preklinik, saya biasa belajar sendiri dan mendapatkan IPK yang baik. Ketika masuk rumah sakit dimana kerja tim begitu penting, saya mulai goyah dan akhirnya menyerah. Dalam bisnis, saya memilih bisnis online, dimana saya bisa mengambil keputusan berdasarkan pemikiran saya tanpa direcoki oleh orang lain. Dan sekarang saya bermasalah dalam tim lagi, walau pun ini hanya dalam game.
Menurut teman sekamar saya, saya tidak boleh lari dari masalah, saya harus menghadapinya. Lakukan apa yang bisa saya lakukan walaupun hal yang kecil. Saya memintanya untuk melihat apa yang terjadi di layar laptop saya. Saya belum berani melihat sendiri apa kata teman online saya. Ternyata saya sedang berada di lobi game. Entah apa yang dikatakan teman online saya saat tahu saya malah di lobi.
Saya memberanikan diri untuk kembali masuk ke dalam game. Teman sekamar saya menemani saya menghadapi laptop dan memberi saya semangat. Dan saya kembali berdiri di tempat yang sama. Teman online saya langsung menyapa saya. Rupanya sekarang kami tinggal berdua. Dan ternyata, dia baru saja mati. Entah apa yang terjadi selama saya pergi. Padahal levelnya lebih tinggi dari pada saya. Saya meminta maaf berkali-kali. Teman saya tidak memberikan komentar apa pun.
Ia mengajak saya untuk mulai mengambil peralatan lalu menuju sebuah ruangan. Saya hanya mengikutinya dari belakang. Di sana ada beberapa monster. Teman sekamar saya mengatakan hal pertama yang harus saya lakukan adalah ikut mengalahkan monster sebisa saya. Saya pun mulai bertarung. Setelah kami membunuh monster-monster tersebut, teman online saya menyuruh untuk mengambil barang yang dijatuhkan oleh monster. Saya pun mulai mengambilnya dan mangambil makanan yang saya rasa perlu.
Kami pun memasuki ruangan berikutnya dan bertarung bersama. Teman saya dengan sabar menunggu saya yang bergerak lamban. Akhirnya kami bertemu sang boss. Kami menghadapinya bersama-sama. Teman saya kembali mati. Melihatnya, saya menjadi berpikir. Apa salahnya mati di sini. Toh saya tidak akan kehilangan apa pun dan akan respawn di lantai yang sama. Saya pun menghadapi monster tersebut sampai saya juga mati.
Setelah respawn, saya kembali ke ruangan yang sama dan menghadapi monster yang sama untuk kemudian mati lagi. Teman saya akhirnya berhasil membunuh monster tersebut dan kami mendapatkan senjata. Teman saya bertanya apakah saya bisa menggunakan senjata tersebut. Saya bilang tidak. Ia pun mengajarkan caranya. Saya merasa ia begitu sabar menghadapi saya. Saya beruntung mempunyai teman sepertinya.
Berikutnya kami sampai ke lantai 6. Saya sudah mulai paham apa yang harus dikerjakan hingga saya mengetahui satu hal. Saya tidak bisa menggunakan senjata yang kami dapatkan sebelumnya. Ini dikarenakan level attack saya yang masih rendah. Namun saya tidak mau lagi putus asa. Saya tetap bertarung walau pun dengan tangan kosong.
Tinggal tersisa ruangan terakhir yang berisi sang boss. Menurut teman saya monster yang satu ini cukup membingungkan. Sebelum masuk, ia membuat sebuah armour untuk dirinya. Dalam kesempatan ini saya mengatakan bahwa saya tidak bisa menggunakan senjata saya. Ia menanyakan level attack saya dan saya jawab 32. Ia pun menyarankan untuk menggunakan apa pun yang bisa digunakan.
Level attack saya yang rendah mungkin juga disebabkan oleh karekter saya. Dalam runescape, hal yang saya sukai adalah menyelesaikan tugas. Meningkatkan level hanyalah salah satu alat agar tugas terlaksana. Dalam hal ini level combat saya jarang terasah. Saya bukanlah tipe orang yang suka menyerang sembarang NPC hanya untuk meningkatkan level. Saya juga tidak begitu suka pergi dungeonering untuk berlatih. Itulah mengapa level saya tak kunjung naik.
Karena lama menunggu teman saya yang tidak bergerak dan tidak mengatakan apa-apa, saya iseng masuk ruangan sendiri untuk menghadapi sang monster. Walau pun saya mati, toh saya akan respawn lagi. Dengan tangan kosong, saya bertarung. Setelah beberapa serangan, monster ini cenderung menghindar dan melancarkan serangan jarak jauh, sangat tidak menguntungkan bagi saya. Dan setelah beberapa pergerakan saya tersadar, bahwa saya berada di ruangan berlantai es. Artinya saya tidak bisa berjalan di ruangan ini, tapi meluncur. Saya berusaha meraih pintu namun tidak bisa. Saya teringat dengan mantra home teleport yang pernah dua kali saya gunakan karena dibimbing oleh teman saya. Akhirnya saya kembali berada dalam satu ruangan dengan teman saya. Ketika saya ingin mengatakan sesuatu, koneksi menjadi error. Saya berusaha memperbaikinya namun berujung menjadi log out.
Saya berusaha log in kembali, namun tak kunjung konek. Waktu menunjukkan pukul 22.30, sudah waktunya saya tidur karena saya ingin puasa besok. Bukannya saya takut tidak bisa bangun pagi, saya selalu bangun pagi. Saya hanya tidak mau kurang tidur malam ini. Namun saya ingin berpamitan dulu dengan teman saya. Setelah beberapa menit mencoba dan tak kunjung konek juga, saya menyerah. Saya akan meminta maaf apabila kami bertemu lagi lain waktu.
Ini mungkin hanya permainan, tapi saya mendapatkan pembelajaran dari sini. Bagaimana bekerja dalam tim dengan kekurangan yang saya miliki. Bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Bagaimana tidak lari dari masalah dan terus berusaha. Saya akan berterima kasih kepada teman saya yang telah mengajak melakukan dungeonering.
Game yang biasa saya mainkan adalah runescape. Bermula dari hobi membaca manga, saya menemukan manga yang membahas tentang MMORPG. Saya sangat menyukai manga tersebut. Karena penasaran, saya coba mencari pengertiannya lewat google. Dan karena masih penasaran, saya coba salah satunya, yaitu runescape. Walaupun tidak persis seperti manga yang saya baca, saya menyukai petualangan yang ditawarkan.
Awal-awal main, saya sangat terobsesi untuk menyelesaikan semua tugas dan meningkatkan level. Setiap hari saya hanya main game. Namun saat pindah ke Padang, saya jarang menyentuh game tersebut. Beberapa kali saat mengajak seorang teman bermain. Selebihnya saya disibukkan oleh kegiatan lain.
Tadi malam saya main lagi untuk mengisi waktu luang. Tanpa disangka saya bertemu dengan teman online saya. Dia merupakan satu-satunya teman saya di runescape. Dulu, saat saya rajin main, kami hampir setiap hari bertemu. Namun sejak saya pindah ke Padang kami tidak pernah bertemu lagi. Hingga dia menyapa saya tadi malam. Saya bahkan hampir tidak menyadari keberadaannya.
Sebenarnya saya tidak tahu apapun tentang dirinya kecuali nama dan umurnya. Tapi itu bukan masalah karena saya membatasi diri saya sendiri bahwa ini hanya pertemanan di dunia maya. Hal yang kami bicarakan biasanya hanya seputar game.
Malam tadi ia mengajak melakukan dungeonering. Dimana dalam dungeonering kita biasa bertarung bersama dalam tim untuk mengalahkan monster. Sebenarnya saya sudah pernah melakukannya beberapa kali, dan itu meninggalkan trauma tersendiri buat saya. Bukan karena saya mati atau apa, tapi berhubungan dengan kerja tim.
Waktu itu saya satu tim dengan 2 orang cowo yang baru saya temui di tempat itu juga. Merupakan hal yang lumrah membentuk tim dengan seseorang yang baru dikenal dalam dungeonering dan saya adalah seseorang yang suka mencoba hal baru. Maka dimulailah petualangan saya.
Kedua teman saya sangat cekatan. Ambil ini ambil itu. Lari kesini lari kesitu. Bunuh monster ambil kunci. Dan saat mereka hampir melakukan segala hal, saya belum berpindah dari tempat berdiri saya. Saya terpaku. Saya merasa tidak berguna, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya saya hanya ikut dalam pertarungan terakhir membunuh sang boss. Itu pun tidak banyak yang dapat saya lakukan. Hal ini terjadi di kedua lantai. Karena frustasi dengan pikiran saya sendiri, saya akhirnya pulang.
Sejak itu saya merasa enggan untuk melakukan dungeonering. Saya merasa buruk dalam kerja sama tim. Saya juga ingin berkontribusi dalam tim, tidak hanya diam dan menonton. Namun saat melihat orang lain begitu hektik, saya jadi bingung sendiri apa yang harus dikerjakan, apalagi saya baru dalam dungeonering.
Pertama kali melakukannya, saya hanya sendiri. Saya melakukannya dengan santai. Mencoba menelaah sendiri apa yang harus dikerjakan. Ketika kedua kalinya kesana dan bertemu tim yang begitu aktif, saya merasa tidak berguna, dan ini membuat saya merasa depresi. Padahal, kedua teman tim saya tidak menuntut apa-apa. Bahkan mereka tidak mengomentari sedikit pun tentang pergerakan saya yang lamban. Namun hal itu tidak sedikit pun membuat saya merasa lebih baik.
Kembali kepada teman saya yang mengajak dungeonering. Saya katakan bahwa saya baru lantai 5, ternyata dia sudah lantai 11. Dia bilang kami bisa pergi ke lantai 5 bersama-sama. Saya katakan padanya bahwa saya adalah orang yang tidak berguna dalam tim. Ia katakan itu bukan masalah baginya. Karena ajakannya, saya pikir ini waktunya saya mengatasi rasa rendah diri saya. Akhirnya kami pergi dungeonering.
Di sana kami membentuk tim yang terdiri dari 4 orang dan dipimpin oleh teman saya. Saat kami sampai di lantai 5, seorang anggota tim marah. Teman saya bilang bahwa temannya (yaitu saya) baru sampai lantai 5. Orang itu tidak terima dan langsung meninggalkan tim. Saya merasa tidak diterima dan mengatakan hal itu pada teman saya. Dia bilang orang itulah yang bodoh karena pergi.
Teman saya dan seorang anggota tim yang lain mulai bergerak. Saya masih terpaku karena pikiran saya dan kembali tidak tahu harus melakukan apa. Rasa takut kembali menghampiri saya. Rasanya saya ingin pergi saja dari tempat itu. Tapi saya juga merasa tidak enak dengan teman yang mengajak saya dan sudah bela-belain pergi ke lantai 5. Saya takut. Dan akhirnya saya meninggalkan laptop saya.
Saya tidak berani menatap layar laptop. Takut mendengar apa yang akan dikatakan teman saya. Saya biarkan avatar saya diam tidak bergerak. Saya curhat pada teman sekamar saya tentang game yang saya mainkan. Saya pikir itu adalah gambaran dari kehidupan nyata saya. Saya bukanlah orang yang pandai dalam kerja tim.
Saat preklinik, saya biasa belajar sendiri dan mendapatkan IPK yang baik. Ketika masuk rumah sakit dimana kerja tim begitu penting, saya mulai goyah dan akhirnya menyerah. Dalam bisnis, saya memilih bisnis online, dimana saya bisa mengambil keputusan berdasarkan pemikiran saya tanpa direcoki oleh orang lain. Dan sekarang saya bermasalah dalam tim lagi, walau pun ini hanya dalam game.
Menurut teman sekamar saya, saya tidak boleh lari dari masalah, saya harus menghadapinya. Lakukan apa yang bisa saya lakukan walaupun hal yang kecil. Saya memintanya untuk melihat apa yang terjadi di layar laptop saya. Saya belum berani melihat sendiri apa kata teman online saya. Ternyata saya sedang berada di lobi game. Entah apa yang dikatakan teman online saya saat tahu saya malah di lobi.
Saya memberanikan diri untuk kembali masuk ke dalam game. Teman sekamar saya menemani saya menghadapi laptop dan memberi saya semangat. Dan saya kembali berdiri di tempat yang sama. Teman online saya langsung menyapa saya. Rupanya sekarang kami tinggal berdua. Dan ternyata, dia baru saja mati. Entah apa yang terjadi selama saya pergi. Padahal levelnya lebih tinggi dari pada saya. Saya meminta maaf berkali-kali. Teman saya tidak memberikan komentar apa pun.
Ia mengajak saya untuk mulai mengambil peralatan lalu menuju sebuah ruangan. Saya hanya mengikutinya dari belakang. Di sana ada beberapa monster. Teman sekamar saya mengatakan hal pertama yang harus saya lakukan adalah ikut mengalahkan monster sebisa saya. Saya pun mulai bertarung. Setelah kami membunuh monster-monster tersebut, teman online saya menyuruh untuk mengambil barang yang dijatuhkan oleh monster. Saya pun mulai mengambilnya dan mangambil makanan yang saya rasa perlu.
Kami pun memasuki ruangan berikutnya dan bertarung bersama. Teman saya dengan sabar menunggu saya yang bergerak lamban. Akhirnya kami bertemu sang boss. Kami menghadapinya bersama-sama. Teman saya kembali mati. Melihatnya, saya menjadi berpikir. Apa salahnya mati di sini. Toh saya tidak akan kehilangan apa pun dan akan respawn di lantai yang sama. Saya pun menghadapi monster tersebut sampai saya juga mati.
Setelah respawn, saya kembali ke ruangan yang sama dan menghadapi monster yang sama untuk kemudian mati lagi. Teman saya akhirnya berhasil membunuh monster tersebut dan kami mendapatkan senjata. Teman saya bertanya apakah saya bisa menggunakan senjata tersebut. Saya bilang tidak. Ia pun mengajarkan caranya. Saya merasa ia begitu sabar menghadapi saya. Saya beruntung mempunyai teman sepertinya.
Berikutnya kami sampai ke lantai 6. Saya sudah mulai paham apa yang harus dikerjakan hingga saya mengetahui satu hal. Saya tidak bisa menggunakan senjata yang kami dapatkan sebelumnya. Ini dikarenakan level attack saya yang masih rendah. Namun saya tidak mau lagi putus asa. Saya tetap bertarung walau pun dengan tangan kosong.
Tinggal tersisa ruangan terakhir yang berisi sang boss. Menurut teman saya monster yang satu ini cukup membingungkan. Sebelum masuk, ia membuat sebuah armour untuk dirinya. Dalam kesempatan ini saya mengatakan bahwa saya tidak bisa menggunakan senjata saya. Ia menanyakan level attack saya dan saya jawab 32. Ia pun menyarankan untuk menggunakan apa pun yang bisa digunakan.
Level attack saya yang rendah mungkin juga disebabkan oleh karekter saya. Dalam runescape, hal yang saya sukai adalah menyelesaikan tugas. Meningkatkan level hanyalah salah satu alat agar tugas terlaksana. Dalam hal ini level combat saya jarang terasah. Saya bukanlah tipe orang yang suka menyerang sembarang NPC hanya untuk meningkatkan level. Saya juga tidak begitu suka pergi dungeonering untuk berlatih. Itulah mengapa level saya tak kunjung naik.
Karena lama menunggu teman saya yang tidak bergerak dan tidak mengatakan apa-apa, saya iseng masuk ruangan sendiri untuk menghadapi sang monster. Walau pun saya mati, toh saya akan respawn lagi. Dengan tangan kosong, saya bertarung. Setelah beberapa serangan, monster ini cenderung menghindar dan melancarkan serangan jarak jauh, sangat tidak menguntungkan bagi saya. Dan setelah beberapa pergerakan saya tersadar, bahwa saya berada di ruangan berlantai es. Artinya saya tidak bisa berjalan di ruangan ini, tapi meluncur. Saya berusaha meraih pintu namun tidak bisa. Saya teringat dengan mantra home teleport yang pernah dua kali saya gunakan karena dibimbing oleh teman saya. Akhirnya saya kembali berada dalam satu ruangan dengan teman saya. Ketika saya ingin mengatakan sesuatu, koneksi menjadi error. Saya berusaha memperbaikinya namun berujung menjadi log out.
Saya berusaha log in kembali, namun tak kunjung konek. Waktu menunjukkan pukul 22.30, sudah waktunya saya tidur karena saya ingin puasa besok. Bukannya saya takut tidak bisa bangun pagi, saya selalu bangun pagi. Saya hanya tidak mau kurang tidur malam ini. Namun saya ingin berpamitan dulu dengan teman saya. Setelah beberapa menit mencoba dan tak kunjung konek juga, saya menyerah. Saya akan meminta maaf apabila kami bertemu lagi lain waktu.
Ini mungkin hanya permainan, tapi saya mendapatkan pembelajaran dari sini. Bagaimana bekerja dalam tim dengan kekurangan yang saya miliki. Bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Bagaimana tidak lari dari masalah dan terus berusaha. Saya akan berterima kasih kepada teman saya yang telah mengajak melakukan dungeonering.
0 Komentar