Saya dan Kaos Kaki
Sudah lama tidak menulis diary, hari ini saya ingin bercerita tentang kaos kaki.
Sebagai seorang muslimah, saya mengalami beberapa kali transformasi dalam cara menutup aurat. Saat pertama kali mengenal orang-orang HTI, saya sempat hanya menggunakan jubah sebagai pakaian sehari-hari. Ketika bergaul dengan orang-orang KAMMI, saya selalu mengenakan kaos kaki kemana saja pergi. Saya bahkan mengenakan rok saat senam pagi.
Namun saat saya terpuruk dan jauh dari orang-orang yang bisa memberi nasehat, saya berpakaian dengan standar minimal yang masih bisa saya toleransi. Dengan celana panjang, baju kaos dan kerudung di atas dada, saya mencari jati diri dan berkelana di kampung orang. Di sini juga pertama kalinya saya mengenakan jilbab yang sebenarnya menurut saya tipis namun banyak digunakan muslimah sekarang.
Saat kembali ke pesantren, saya mencoba menata kembali cara saya menutup aurat. Saya kembali mengulurkan jilbab menutupi dada, walau masih menggunakan kain yang agak transparan. Baju kaos yang tidak longgar dan kurang panjang, saya singkirkan beberapa. Setidaknya saya ingin mengamalkan standar berpakaian yang pernah saya jalani sewaktu santriwati dulu.
Sampai suatu ketika saya membaca buku tentang mahram. Di mana dalam buku tersebut juga dibahas tentang aurat wanita. Sebenarnya saya tahu bahwa aurat wanita adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Hampir jarang pembahasan aurat yang menyinggung kaki. Seakan sudah maklum bahwa semua orang sudah paham hukumnya.
Jadi, apakah saya sudah yakin mengenai hukum menutup kaki? Jawabannya adalah saya sendiri belum tahu pasti. Dulu, sewaktu santriwati saya pernah bertanya, bagaimana hukumnya menggunakan kaos kaki? Pertanyaan ini muncul karena melihat pengajar dari HTI yang selalu menggunakannya. Waktu itu, ustadz yang jawab mengatakan bahwa sebagai anggota badan yang berada di bawah, kaki jarang diperhatikan, jadi tidak begitu dipermasalahkan meskipun tidak menggunakan koas kaki. Kira-kira begitulah jawabannya. Berhubung saya bukanlah orang yang kritis, saya terima saja jawaban itu apa adanya. Saya mengenakan kaos kaki jika ke sekolah saja. Sedangkan pada waktu lain cukup menutup aurat sampai mata kaki saja.
Saat kuliah dan sempat rajin menggunakan kaos kaki pun, saat itu pemahaman saya juga apa adanya. Karena yang lain menggunakan kaos kaki, maka saya pun ikut-ikutan dan terbiasa. Sehingga jika tidak menggunakan koas kaki risih rasanya.
Pada masa-masa akhir kuliah, saya disibukkan oleh dunia. Komunikasi dengan teman-teman pun cuma sekadarnya. Hingga saya melangkahkan kaki ke Padang, penampilan saya kembali ala kadarnya. Mungkin saya hanya ingin dipandang sebagai orang yang biasa-biasa saja. Menutup aurat minimalis pun jadi pilihan saya. Kaos kaki sudah tak tahu hilang kemana.
Kembali kepada buku yang membahas aurat yang saya baca. Saya pun memandang ke arah kaki saya. Kulitnya terlihat lebih gelap karena sering terpapar matahari. Mungkin hati saya sendiri belum siap dan belum mengerti sepenuhnya tentang hukum kaos kaki. Tapi saya coba memulai menggunakannya lagi minimal untuk melindunginya dari cahaya matahari.
Setelah beberapa minggu ini mengenakan kaos kaki. Sempat muncul kembali rasa risih sendiri karena tidak menggunakannya. Namun mungkin karena pemahaman yang masih belum sepenuhnya. Saya mengenakannya masih pada saat-saat tertentu saja.
Hari ini saya pulang ke rumah dari pesantren. Berhubung jauh, saya pun menggunakan kaos kaki agar terlindung dari matahari. Kali ini saya menggunakan kaos kaki yang agak tebal dan panjang sebagai perlindungan. Ketika akan berhenti di sebuah toko, saya sempat merasa ragu untuk parkir. Alhasil motor terjatuh ke sebelah kiri. Alhamdulillah saya tidak apa-apa dan motor baik-baik saja. Belum lagi ada orang baik yang menolong saja.
Hanya saja, sebuah kesalahan posisi menyebabkan kaki kanan saja terkena knalpot. Dalam hitungan detik kaos kaki yang saya kenakan bolong sebesar telur ayam. Saya beruntung cepat menganggkat kaki, jadi hanya kaos kaki yang menjadi korban. Dan saya lebih beruntung lagi karena mengenakan koas kaki yang lebih tebal, sehingga kaki saya terselamatkan.
Setelah motor diparkir dengan baik oleh orang yang menolong saya, dengan wajah biasa saya masuk ke toko tempat saya berniat belanja. Berhubung penjaga toko adalah wanita, saya copot kaos kaki tersebut tanpan rasa sungkan. Semula saya berpikir untuk menuruskan perjalanan tanpa kaos kaki saja. Namun penjaga toko mengatakan tidak masalah untuk terus menggunakannya. Sambil iseng saya pun bertanya apa di toko tersebut kaos kaki juga ada. Harga sepuluh ribu pun saya beli jua.
Rupanya ada hikmahnya saya mengenakan kaos kaki, meskipun niatnya masih belum pasti. Sambil saya masih terus mencari. Saya akan berusaha untuk menutup aurat hingga kaki.
0 Komentar