Siang ini saya agak terlambat mengajar setelah jam istirahat. Saya bergegas ke meja kerja untuk mengambil buku pelajaran dan pergi ke kelas.

Rupanya di atas meja saya ada buku presensi Kelas 1. Teman sebelah saya mengatakan bahwa ibu F menitip agar saya mengantarkan presensi tersebut ke kelas. Masalahnya siang ibu saya tidak mengajar di kelas 1 tapi di kelas lain pada bangunan yang lain juga. Kenapa harus nitip ke saya?

Mungkin Ibu F yang setahu saya adalah petugas TU mengira saya mengajar di kelas 1 siang ini. Hal ini membuat saya jadi jengkel. Maunya saya tinggalkan saja presensi tersebut di atas meja. Tapi bagaimana jika siswa mencari presensi ke TU dan ternyata presensinya di atas meja saya di kantor guru.

Walaupun sambil dongkol, sudah telat, presensi tersebut akhirnya saya bawa. Saya berjalan ke gedung kelas 1, naik tangga, dan menuju kelas paling ujung untuk mengantar presensi tersebut.

Dalam hati saya berpikir. Jika saya melakukannya dengan tidak ikhlas, maka saya tidak akan memperoleh apapun selain rasa capek. Maka saya pun mencoba ikhlas dan bersabar.

Dari gedung kelas 1 saya ke gedung kelas saya mengajar dan kembali naik tangga. Setidaknya para siswa tidak mengeluh meskipun gurunya terlambat 15 menit.

Setelah larut dalam pembelajaran saya pun sudah tidak mengingat masalah presensi lagi. Kegiatan belajar mengajar pun berlangsung seperti biasa sampai bel pulang berbunyi.

Ketika menuju kantor, saya berjalan beriringan dengan guru lain yang juga mengajar di gedung yang sama. Kami mengobrol ringan tentang metode mengajar.

Setelah sampai di kantor dan meletakkan buku di atas meja, guru yang jalan bareng saya tadi pun tersadar akan sesuatu. Ia menanyakan perihal presensi kelas 1 yang dia titipkan. Dia mengaku telah mengira saya mengajar di kelas satu. Kenyataannya saya mengajar di gedung yang sama dengan beliau tadi.

Dia benar-benar meminta maaf kepada saya karena merasa bersalah. Dia merasa benar-benar telah merepotkan saya karena ketidaktahuannya.

Tanpa sengaja dia telah membawa absensi kelas 1 ke kantor. Karena siang itu dia harus mengajar di gedung yang berbeda, maka dia sengaja menitip kepada guru yang mengajar di kelas 1. Saya memang pernah mengatakan bahwa saya ada jadwal mengajar setiap siang. Tapi bukan berarti saya selalu mengajar di kelas 1 pada siang hari.

Dia menyatakan bahwa saya pasti kesal sekali. Tentu saja saya membenarkannya. Saya ungkapkan betapa dongkolnya saya waktu harus mengantarkan presensi ke gedung yang berbeda dan harus naik tangga pula. Tapi herannya, kenapa saya mau saja melakukannya meskipun kesal.

Setidaknya saya lega sudah bisa mengungkapkan kekesalan saya tersebut. Lagi pula, saya bahkan sudah tidak ingat masalah presensi tersebut sampai dia mengungkitnya. Rasa kesal itu juga sudah hilang. Makanya saya ringan saja waktu bicara dengannya tanpa rasa marah.

Bahkan saya malah jadi mengolok-oloknya karena telah sangat menyusahkan saya. Mungkin suatu saat saya bisa merepotkannya, hehe.

Perasaan manusia memang mudah berganti. Saya senang karena bisa mmenjadi orang yang tidak mendendam. Saat masih merasa kesal, saya merasa dada sakit seperti terhimpit. Tapi setelah kejadian tersebut berlalu, saya merasa hati ini menjadi lega.

Jika dipikir-pikir sebenarnya yang membuat capek bukanlah jauhnya kaki berjalan, tapi karena rasa kesal di dada. Tapi setelah semua itu dilupakan langkahpun menjadi ringan jadinya.

Jika sudah dimaafkan, kenapa ditulis?

Bagi saya ini adalah sekedar pengingat, terutama untuk diri saya sendiri. Agar tetap bisa menjadi orang yang sabar.

Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf. Maka jika saya berbuat salah, saya berharap orang lain pun akan ringan memaafkan saya, sebagaimana saya berusaha memaafkan orang lain.