"Masih ada ya, yang nonton ke bioskop? Kirain sudah ngga laku lagi. Kan sudah ada TV." Demikianlah komentar paman saya yang berusia hampir 60 tahun saat tahu saya pergi nonton ke bioskop.

Kami memang tinggal di desa dan paman saya tersebut sudah jarang sekali kemana-mana, apalagi ke kota. Jadi beliau sudah tidak mengikuti perkembangan tren saat ini. Tapi saat muda, ternyata beliau pergi ke bioskop atau cinema hampir setiap malam.

Dulu ada beberapa cinema yang buka di Banjarmasin. Setiap malam sebuah film akan diputar. Satu film setiap malam. Kecuali malam Minggu, bisa jadi ada dua film yang diputar.

Masing-masing cinema ini harganya bervariasi, mulai yang paling mahal sampai yang paling murah. Yang menyebabkan harganya berbeda bukan hanya masalah tempat duduk atau lokasi menonton. Tapi juga kualitas film yang ditonton.

Jika saat ini, sebuah film yang baru rilis bisa ditonton serempak di banyak bioskop. Hal ini sangat jauh berbeda dengan masa paman saya dulu.

Untuk menonton sebuah film, sebuah kaset akan dikirimkan dari Jakarta ke sebuah Bioskop di Banjarmasin. Bioskop inilah yang akan menayangkan film tersebut pertama kali. Kualitas filmnya bagus dan tentu saja harga tiketnya mahal.

Setelah jangka waktu tertentu kaset tersebut akan diover ke bioskop lain untuk diputar. Harga tiket pun sudah menjadi lebih murah. Kemudian kaset tersebut akan digilir ke berbagai bioskop. Harga tiket di bioskop yang mendapat giliran akhir tentu saja adalah yang paling murah.

Ada harga ada kualitas. Karena kaset tersebut sudah digunakan berkali-kali, maka kualitasnya saat diputar dibioskop-bioskop akhir juga sangat berkurang. Di tengah film kadang terhenti dan kaset harus dibetulkan.

Paman saya biasa jalan kali sejauh satu kilo hanya untuk menonton ke bioskop. Tapi untuk ukuran zaman dulu, hal tersebut merupakan hal yang biasa. Beliau pun menonton di bioskop yang harganya terjangkau saja.

Saat ini, penonton bioskop yang berada dalam satu ruangan bisa siapa saja. Mau tukang ojek atau pegawai bisa duduk bersebelahan.

Tapi saat itu ada semacam pembagian kelas bagi penonton bioskop. Orang yang kaya tidak mau berada pada tempat yang sama dengan para buruh. Mereka menikmati film secara terpisah, pada bioskop yang berbeda.

Cara menonton ke bioskop memang berubah. Hiburan pun banyak tersedia di tv dan internet. Tapi bukan berarti bioskop kehilangan penggemarnya. Setiap tahun industri perfilman menghasilkan banyak movie yang menunggu antrian untuk ditayangkan. Jumlah bioskop pun kian bertambah. Bahkan kini saya tidak perlu ke Banjarmasin untuk menonton ke bioskop. Cukup ke Banjarbaru dan film terbaru siap untuk dinikmati.

Bagaimana dengan Anda, apakah juga suka nonton ke bioskop?